Kau tau, aku sedang merasa gagal malam ini. Entahlah, aku lelah. Aku tau, teman yang baik adalah ia yang benar-benar tulus ada di sampingmu. Tapi maaf, aku bukan termasuk kategori itu.
Kau harus tau bahwa aku sudah merasa lelah berpura-pura untuk terus ada demi membuatmu bahagia. Maaf jika aku harus bercerita, mungkin ini akan menyakitkan bagimu. Maaf jika aku lebih memilih pergi untuk menyelamatkan hatiku kali ini.
Benar kata orang, jangan pernah berharap dengan manusia, bahkan dengan kawan baikmu sekalipun. Ketika kau berharap kepadaku dan aku berharap kepadamu, tapi kita tak saling memahami, itu akan sangat mengecewakan.
Aku merasa selama ini selalu ada untukmu dengan rela meninggalkan yang lain, tapi kau tak berbuat demikian. Baik, tak apa, kita kan teman. Namun, aku tak bisa terus mengikuti inginmu. Bagiku, kita sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap, tak melulu harus meminta dimengerti bukan?
Ah sudahlah, untung saja aku sudah menonton film "Teman Tapi Menikah" kala itu, jadi aku masih ingat bahwa "bosan itu pasti, tapi kita tak saling pergi".
Untukmu teman baikku, maafkan aku yang ingin menyerah malam ini, semoga esok aku sudah kembali bergairah untuk tetap disini bersamamu dan terus mengingat bahwa kita sudah sedekat nadi, jadi jangan sampai kelak sejauh bumi dengan matahari.
Minggu, 29 April 2018
Sabtu, 21 April 2018
Bukan Istanamu
Kau harus tau apa yang dilakukan kawanmu untuk menepati janji yang kau buat itu. Kawanmu telah merelakan yang lain demi janjimu, kau harus tau itu. Lalu sampai kapan aku harus memaklumi pola pikirmu tapi kau tak berbuat sebaliknya? Ini terlalu melelahkan bagiku. Aku ingin kata "saling" bukan hanya "saja". Mengertikah dirimu?
Bukan tentang angka satu dan dua yang masih berdekatan. Kau tau kan kalau satu takkan pernah menjadi dua? Lalu apa yang membuatmu menyamakan mereka? Ketika aku ingin menyadarkanmu, kau tak terima, lalu berbalik mengguruiku. Kau tak mau dianggap salah. Kau meminta maaf kepadaku, tetapi kau masih menyalahkanku. Apa kau mau tau bagaimana perasaanku? Pasti tidak.
Aku ingin memberitahu, ini bukan hanya duniamu, tapi duniaku, duniamu, dan dunia mereka. Kau tak bisa berbuat seenak yang kau mau seperti kala kau sedang di istanamu, tak boleh seperti itu. Kau juga harus mengerti perasaan yang ada di dekatmu. Tidak hanya melulu tentang kepuasanmu.
Jika memang tak mau, tak perlu. Jika kau memang ingin meminta maaf, tak perlu kau menyertakan pembelaan. Maaf adalah tentang rasa bersalah, bukan sekedar mengalah.
Keegoisan Batu
Pagi ini aku memiliki janji dengan temanku untuk bertemu pukul tujuh. Aku mendatangi rumahnya kala itu. Ku ketuk pintu kamarnya, lalu ku panggil namanya. Tak kunjung ada sautan. Mungkin ia masih terlelap tidur, pikirku. Ku coba lagi, akhirnya dia menjawab panggilanku. Benar, dia baru beranjak dari mimpinya. Baiklah tak apa, akan ku tunggu.
Setelah siap, temanku yang lain melontarkan kalimat yang mungkin sedikit menyakitkan, "bukankah kita sudah membuat janji untuk bertemu pukul tujuh? Ini sudah pukul delapan". "Tujuh dan delapan kan tak jauh, lagipula kita masih bisa pergi kan" sautnya. Baiklah, aku mulai geram, tapi aku hanya terdiam.
Dahulu seseorang pernah berkata kepadaku "jangan melulu menjadi batu, terus berdebat yang tak akan ada habisnya, lebih baik mengalah, tak apa, harga dirimu takkan terbeli, tenang saja". Sejak saat itu, ku putuskan untuk menjadi kertas, lembut dan tak banyak berdebat lagi. Tapi pagi ini aku lelah dengan terus mengalah. Hingga kita pulang ke rumah, temanku masih terus melontarkan pembelaan dengan dalih kesibukan. Ku coba memberinya saran sedikit saja yang menurutku akan baik untuk semuanya, tapi dia tak menginginkannya. Dia kesal, marah. Aku yang sudah mengalah sejak beberapa bulan ini sudah tak lagi bisa menahan. Jika temanku tak lekas disadarkan, ia akan menyakiti banyak kawan.
Malam ini aku mencoba memberinya masukan, dia terus melakukan pembelaan. Aku hanya berkata satu kalimat, dia balas satu paragraf. Meskipun saat ini aku adalah kertas, jiwaku tetaplah batu. Ketika dua batu saling beradu, takkan ada yang menang, takkan ada yang kalah. Baiklah, aku mecoba menyakiti jiwaku dengan berubah menjadi kertas sama seperti tubuhku. Tapi berubah dengan kepura-puraan terlalu menyesakkan.
Aku bertanya pada Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Diamku takkan bisa melunakkan batu. Akupun juga terlahir sebagai batu, tapi aku mau menyakiti diriku demi batu lain agar kami tak saling beradu. Tampaknya usahaku sia-sia. Selama ini aku telah berubah menjadi kertas yang takkan menyakiti siapapun, tapi sejak hari ini sepertinya aku ingin kembali kepada kodratku. Batu tetaplah batu. Lunak atau keras, tetap saja batu.
Langganan:
Postingan (Atom)